Tuesday, November 19, 2013

Tugas Kelompok Ilmu Budaya Dasar: Manusia dan Harapan

Tugas Ilmu Budaya Dasar
Manusia dan Harapan”
Disusun Oleh :



Ainul Mawaddah 10213491
Hanna Fitriyani 13213899
Nisaa Titaley 16213469
Putri Dinar S. 17213004
Rizka Amalia 17213890
Tantri Nur J. 18213792

1EA02
Manajemen Ekonomi
Universitas Gunadarma

Manusia
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna. Kesempurnaan manusia dikarenakan manusia memilki akal & pikiran. Disampimg itu manusia juga merupakan suatu makhluk yang luar biasa kompleks dikarenakan manusia itu sendiri tersusun dari berjuta-juta sel yang terhubung satu sama lain.

Harapan
Harapan berasal dari kata harap yang secara harfiah memiliki arti keinginan yang akan dikehendaki agar terjadi; keinginan; segala sesuatu yang dikehendaki di masa depan

Manusia & Harapan
Setiap manusia mempunyai harapan. Manusia yang tanpa harapan, berarti manusia itu mati dalam hidup. Orang yang akan meninggal sekalipun mempunyai harapan, biasanya berupa pesan-pesan kepada ahli warisnya.
Harapan tersebut tergantung pada pengetahuan, pengalaman, lingkungan hidup, dan kemampuan masing-masing, Misalnya, Budi yang hanya mampu membeli sepeda, biasanya tidak mempunyai harapan untuk membeli mobil. Seorang yang mempunyai harapan yang berlebihan tentu menjadi buah tertawaan orang banyak, atau orang itu seperti peribahasa “Si pungguk merindukan bulan”
Berhasil atau tidaknya suatu harapan tergantung pada usaha orang yang mempunyai harapan, misalnya Rafiq mengharapkan nilai A dalam ujian yang akan datang, tetapi tidak ada usaha, tidak pernah hadir kuliah. Ia menghadapi ujian dengan santai. Bagaimana Rafiq memperoleh nilai A. luluspun mungkin tidak.
Harapan harus berdasarkan kepercayaan, baik kepercayaan pada diri sendiri, maupun kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agar harapan terwujud, maka perlu usaha dengan sungguh-sungguh. Manusia wajib selalu berdoa. Karena usaha dan doa merupakan sarana terkabulnya harapan.
Harapan berasal dan kata harap yang berarti keinginan supaya sesuatu terjadi; sehingga harapan berarti sesuatu yang diinginkan dapat terjadi. Dengan demikian harapan menyangkut masa depan.Jadi untuk mewujudkan harapan itu harus disertai dengan usaha yang sesuai dengan apa yang diharapkan Bila dibandingkan dengan cita-cita , maka harapan mengandung pengertian tidak terlalu muluk: sedangkan cita-cita pada umumnya perlu setinggi bintang. Antar harapan dan cita-cita terdapat persamaam yaitu :


  • Keduanya menyangkut masa depan karena belum terwujud
  • Pada umumnya dengan cita-cita maupun harapan orang menginginkan hal yang lebih baik atau meningkat.

Persamaan Harapan dan Cita-cita

Harapan berasal dari kata harap yang berarti keinginan supaya sesuatu terjadi; sehingga harapan berarti sesuatu yang diinginkan dapat terjadi. Dengan demikian harapan menyangkut masa depan.
Setiap manusia mempunyai harapan. Manusia yang tanpa harapan, berarti manusia itu mati dalam hidup. Orang yang akan meninggal sekalipun mempunyai harapan, biasanya berupa pesan-pesan kepada ahli warisnya. Harapan tersebut tergantung pada pengetahuan, pengalaman, lingkungan hidup, dan kemampuan masing-masing. Berhasil atau tidaknya suatu harapan tergantung pada usaha orang yang mempunyai harapan. Harapan harus berdasarkan kepercayaan, baik kepercayaan pada diri sendiri, maupun kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agar harapan terwujud, maka perlu usaha dengan sungguh-sungguh. Manusia wajib selalu berdoa. Karena usaha dan doa merupakan sarana terkabulnya harapan.
Cita-cita merupakan Impian yang disertai dengan tindakan dan juga di berikan batas waktu. Jadi kalau kita bermimpi untuk menjadi netpreneur yang sukses, ya… harus di sertai tindakan jangan cuma berandai-andai saja. Serta jangan lupa di berikan target waktu sehingga kita punya timeline kapan hal tersebut kita inginkan terealiasasi.
Dari kecil kita pasti dinasehati oleh orangtua, guru ataupun buku untuk menggantungkan cita-cita setinggi langit. Semua itu memang benar karena dengan adanya cita-cita atau impian dalam hidup kita akan membuat kita semangat dan bekerja keras untuk menggapai kehidupan yang lebih baik di dunia.
Cita-cita yang baik adalah cita-cita yang dapat dicapai melalui kerja keras, kreativitas, inovasi, dukungan orang lain dan sebagainya. Khayalan hasil melamun cenderung tidak logis dan bersifat mubazir karena banyak waktu yang terbuang untuk menghayal yang tidak-tidak.
Dalam bercita-cita pun sebaiknya jangan terlalu mendetail dan fanatik karena kita bisa dibuat stres dan depresi jika tidak tercapai. Contoh adalah seseorang yang punya cita-cita jadi dokter. Ketika dia tidak masuk jurusan ipa dia stress, lalu gagal snmptn / spmb kedokteran dia stress, dan seterusnya.
Tidak semua orang bisa menentukan cita-cita. Jika tidak bisa menentukan cita-cita, maka bercita-citalah untuk menjadi orang yang berguna dan dicintai orang banyak dengan hidup yang berkecukupan. Untuk mendapatkan motivasi dalam mengejar cita-cita kita bisa mempelajari kisah sukses orang lain atau membaca atau melihat film motivasi hidup seperti laskar pelangi.
Bila dibandingkan dengan cita-cita, maka harapan mengandung pengertian tidak terlalu muluk, sedangkan cita-cita pada umumnya perlu setinggi bintang. Antara harapan dan cita-cita terdapat persamaan yaitu: keduanya menyangkut masa depan karena belum terwujud, pada umumnya dengan cita-cita maupun harapan orang menginginkan hal yang lebih baik atau meningkat.

Penyebab Manusia Mempunyai Harapan
Menurut kodratnya manusia itu adalah mahluk sosial. Setiap lahir ke dunia langusung disambut dalam suatu pergaulan hidup, yakni di tengah suatu keluarga atau anggota masyarakat lainnya. Tidak ada satu manusiapun yang luput dari pergaulan hidup. Ditengah – tengah manusia lain itulah, seseorang dapat hidup dan berkembang baik fisik/jasmani maupun mental/ spiritualnya. Ada dua hal yang mendorong orang hidup bergaul dengan manusia lain, yakni dorongan kodrat dan dorongan kebutuhan hidup.
Dorongan kodrat
Kodrat ialah sifat, keadaan, atau pcmbawaan alamiah yang sudah terjelma dalam diri manusia sejak manusia itu diciptakan oleh Tuhan. Misalnya menangis, bergembira, berpikir, berjalan, berkata, mempunyai keturunan dan sebagainya. Setiap manusia mempunyai kemampuan untuk itu semua.
Dorongan kodrat menyebabkan manusia mempunyai keinginan atau harapan, misalnya menangis, tertawa, bergembira, dan scbagainya. Seperti halnya orang yang menonton Pertunjukan lawak, mereka ingin tertawa, pelawak juga mengharapkan agar penonton tertawa terbahak-bahak. Apabila penonton tidak tertawa, harapan kedua belah pihak gagal, justru sedihlah mereka.
Kodrat juga terdapat pada binatang dan tumbuh-tumbuhan, karena binatang dan tumbuhan perlu makan, berkembang biak dan mati. Yang mirip dengan kodrat manusia ialah kodrat binatang, walau bagaimanapun juga besar sekali perbedaannya. Perbedaan antara kedua mahluk itu, ialah bahwa manusia memiliki budi dan kehendak. Budi ialah akal, kemampuan untuk memilih. Kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan, sebab bila orang akan memilih, ia harus mengetahui lebih dahulu barang yang dipilihnya. Dcngan budinya manusia dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang
salah, dan dengan kehendaknya manusia dapat memilih. Dalam diri manusia masing-masing sudah terjelma sifat, kodrat pembawaan dan kemampuan untuk hidup bergaul, hidup bermasyarakat atau hidup bcrsama dengan manusia lain. Dengan kodrat ini, maka manusia mempunyai harapan.



Dorongan kebutuhan hidup
Sudah kodrat pula bahwa manusia mempunyai bermacam-macam kebutuhan hidup. Kebutuhan hidup itu pada garis besamya dapat dibedakan atas : kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani
Kebutuhan jasmaniah misalnya ; makan, minum, pakaian, rumah. (sandang, pangan,
dan papan), ketenangan, hiburan, dan keberhasilan.
Untuk memenuhi semua kebutuhan itu manusia bekerja sama dengan manusia lain.
Hal ini disebabkan, kemampuan manusia sangat terbatas, baik kemampuan fisik/jasmaniah
maupun kemampuan berpikimya.
Dengan adanya dorongan kodrat dan dorongan kebutuhan hidup itu maka manusia
mempunyai harapan. Pada hakekatnya harapan itu adalah keinginan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Menurut Abraham Maslow sesuai dengan kodratnya harapan manusia atau kebutuhan
manusia itu ialah :
a) kelangsungan hidup (survival)
b) keamanan ( safety )
c) hak dan kewajiban mencintai dan dicintai (be loving and love)
d) diakui lingkungan (status)
e) perwujudan cita-cita (self actualization)


Monday, November 18, 2013

TUGAS ILMU BUDAYA DASAR: Kebudayaan Suku Kubu

TUGAS ILMU BUDAYA DASAR
PUTRI DINAR SETYANI
17213004
1EA02


 
Pengertian budaya dan kebudayaan
Kata budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pikiran, akal budi atau adat-istiadat. Secara tata bahasa, pengertian kebudayaan diturunkan dari kata budaya yang cenderung menunjuk pada pola pikir manusia. Kebudayaan sendiri diartikan sebagai segala hal yang berkaitan dengan akal atau pikiran manusia, sehingga dapat menunjuk pada pola pikir, perilaku serta karya fisik sekelompok manusia.
Sedangkan definisi kebudayaan menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Budiono K, menegaskan bahwa, “menurut antropologi, kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar”. Pengertian tersebut berarti pewarisan budaya-budaya leluhur melalui proses pendidikan.
 Suku Kubu
 
Suku Anak Dalam atau Suku Kubu kemunculannya masih dipertanyakan, hingga kini tak ada yang bisa memastikan asal usul mereka. Dari lisan ke lisan, beberpa orang berpendat dan menyimpulkan kemunculan suku Kubu tersebut.

Ada dua versi menurut sejarah lisan Orang Rimba selalu diturunkan para leluhur. Tengganai Ngembar, pemangku adat sekaligus warga tertua Suku Kubu yang tinggal di Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi

Pertama, mereka (leluhur) bahwa suku Kubu adalah orang Maalau Sesat, yang meninggalkan keluarga dan lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Sedangkan versi kedua, penghuni rimba adalah masyarakat Pagaruyung, Sumatera Barat, yang bermigrasi mencari sumber-sumber penghidupan yang lebih baik. Diperkirakan karena kondisi keamanan tidak kondusif atau pasokan pangan tidak memadai di Pagaruyung, mereka pun menetap di hutan itu.

Dari segi bahasa suku Kubu yang banyak menggunakan bahasa rimba dan bahasa Minang, maka versi kedua ini lebih banyak diterima dan dikuatkan. Orang Rimba juga menganut sistem matrilineal, sama dengan budaya Minang. Dan yang lebih mengejutkan, Orang Rimba mengenal Pucuk Undang Nang Delapan, terdiri atas hukum empat ke atas dan empat ke bawah, yang juga dikenal di ranah Minang.

Daerah Kubu Kandang yang lebih banyak bermigrasi ke beberapa wilayah di Jambi bagian barat. Sejak ratusan tahun yang lalu, suku Kubu tidak mengenal peradaban. Kehidupan mereka sangat bergantung pada alam.

Mereka hidup seminomaden, karena kebiasaannya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tujuannya, bisa jadi "melangun" atau pindah ketika ada warga meninggal, menghindari musuh, dan membuka ladang baru. Orang suku Kubu tinggal di pondok-pondok, yang disebut sesudungon, bangunan kayu hutan, berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdang benal.

Dari hasil survei Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004 menyatakan, jumlah keseluruhan mereka di Taman Nasional Bukit Duabelas ada 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang kemudian dinyatakan kawasan TNBD, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun. Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu.

Selain di TNBD, kelompok- kelompok suku Kubu juga tersebar di tiga wilayah lain. Populasi terbesar terdapat di Bayung Lencir, Sumatera Selatan, sekitar 8.000 orang. Mereka hidup pada sepanjang aliran anak-anak sungai keempat (lebih kecil dari sungai tersier), seperti anak Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Ada juga yang hidup di Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak Sungai Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya sekitar 1.200 orang. Kelompok lainnya menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh, sekitar 500 orang.
 
Karakteristik dan Kultur Suku Kubu


Ciri-ciri fisik dan non fisik


Suku anak dalam termasuk golongan ras mongoloid yang termasuk dalam migrasi pertama dari manusia proto melayu. Perawakannya rata-rata sedang, kulit sawo matang, rambut agak keriting, telapak kaki tebal, laki-laki dan perempuan yang dewasa banyak makan sirih.

Ciri fisik lain yang menonjol adalah penampilan gigi mereka yang tidak terawat dan berwarna kecoklatan. Hal ini terkait dengan kebiasaan mereka yang dari kecil nyaris tidak berhenti merokok serta rambut yang terlihat kusut karena jarang disisir dan hanya dibasahi saja.

Sedangkan dalam hal penampilan sehari hari, mereka memakai pakaian cawat untuk laki laki yang terbuat dari kain sarung, tetapi kalau mereka keluar lingkungan rimba ada yang sudah memakai baju biasa tetapi bawahnya tetap pakai cawat/kancut sedangkan yang perempuan memakai kain sarung yang dikaitkan sampai dada.
Tingkat kemampuan intelektual suku anak dalam dapat disebut masih rendah dan temperamen mereka pada umumnya keras dan pemalu. Walaupun masih terbatas, tetapi sudah terjadi interaksi sosial dengan masyarakat luas sehingga keterbukaan terhadap nilai nilai budaya luar semakin tampak.

Budaya Melangun

Seorang anggota keluarga Suku Anak Dalam yang meninggal dunia merupakan peristiwa yang sangat menyedihkan bagi seluruh warga Suku, terutama pihak keluarganya. Kelompok mereka yang berada di sekitar rumah kematian akan pergi karena menganggap bahwa tersebut sial, selain untuk dapat lebih cepat melupakan kesedihan yang ada. Mereka meninggalkan tempat mereka tersebut dalam waktu yang cukup lama, yang pada jaman dulu bisa berlangsung antara 10 sampai 12 tahun. Namun kini karena wilayah mereka sudah semakin sempit (Taman Nasional Buki XII) karena banyak dijarah oleh orang, maka masa melangun menjadi semakin singkat yaitu sekitar 4 bulan sampai satu tahun. Wilayah melangun merekapun semakin dekat, tidak sejauh dahulu.

Pada masa sekarang apabila terjadi kematian di suatu daerah, juga tidak seluruh anggota Suku Anak Dalam tersebut yang pergi melangun. Hanya angota keluarga-keluarga mendiang saja yang melakukannya.

Pada saat kematian terjadi, seluruh anggota keluarga Suku Anak Dalam yang meninggal dunia merasa sedih yang mendalam, mereka menangis dan meraung-raung selama satu minggu. Sebagian wanitanya sampai menghempas-hempaskan badannya ke pohon besar atau tanah, ada yang berteriak dan berkata-kata laa illa hail, ya Tuhan kami kembalikan nyawo urang kami yang mati.

Jenazah orang yang telah meninggal kemudian ditutup dengan kain dari mata kaki hingga menutupi kepala lalu diangkat oleh 3 orang dari sudung/rumah menuju peristirahatannya yang terakhir di sebuah pondok yang terletak lebih dari 4 Km ke dalam hutan.

Pondok jenazah ini jika untuk orang dewasa tingginya 12 undukan dari tanah, jika anak-anak tingginya 4 undukan dari tanah. Pondok ini diberi alas dari batang-batang kayu bulat kecil dan diberi atap daun-daun kering. Jenazah Suku Anak Dalam tidak dimandikan dan dikuburkan dalam tanah. Menurut tradisi meraka, orang yang sudah meninggal masih mungkin hidup kembali, jika mereka dikuburkan dalam tanah, maka orang yang sudah meninggal tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bangkit kembali menemui kelompoknya.

Kepercayaan tersebut bermula dari peristiwa dahulu kala dimana orang yang sudah sekarat (mungkin pingsan dalam waktu yang lama) ditinggalkan oleh kelompoknya di sebuah pondok di dalam hutan, dan kemudian ternyata ada di antara mereka yang dapat hidup dan sehat kembali serta pulang ke kelompoknya. Kejadian ini yang mengilhami meraka untuk tidak menguburkan jenazah orang yang sudah meninggal.

Anggota kelompok sesekali masih menengok pondok dimana jenazah tersebut diletakan, mereke menengok dari jarak jauh untuk memastikan keadaan jenazah. Dalam hal ini yang menjadi tabu buat mereka, yaitu pelarangan menyebut rekan/keluarganya yang sudah meninggal dunia karena hal ini akan membuat mereka merasa kembali kepada kesedihan yang mendalam. Mereka mengatakan janganlah kawan sebut-sebut lagi orang yang sudah mati.

Seloko Dan Mantera

Kehidupan Suku Anak Dalam sangat dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang sudah diterapkan dalam bentuk seloko-seloko yang secara tegas dijadikan pedoman hukum oleh para pemimpin Suku, khususnya Tumenggung dalam membuat suatu keputusan. Seloko juga menjadi pedoman dalam bertutur kata dan bertingkah laku serta dalam kehidupan bermasyarakat Suku Anak Dalam. Bentuk seloko itu antara lain:

1.Bak emas dengan suasa
2.Bak tali berpintal tigo
3.Yang tersurat dan tersirat
4.Mengaji di atas surat
5.Banyak daun tempat berteduh
6.Meratap di atas bangkai
7.Dak teubah anjing makan tai (kebiasaan yang sulit di ubah )
8.Dimano biawak terjun disitu anjing tetulung (dimano kita berbuat salah disitu adat yang dipakai )
9.Dimano bumi di pijak disitu langit di junjung (dimana kita berada, disitu adat yang kita junjung, kita menyesuaikan diri)
10.Bini sekato laki dan anak sekato Bapak (bahwa dalam urusan keluarga sangat menonjol peran seorang laki – laki atau Bapak )
11.Titian galling tenggung negeri (Tidak ke sini juga tidak kesana/labil)

Seloko-seloko adat ini menurut mereka tidak hilang dan tidak bias (berubah). Seloko-seloko adat dan cerita asal usul mereka adalah cerita Tumenggung Kecik Pagar Alam Ngunci Lidah yang usianya pada saat laporan ini dibuat sekitar 80 tahun lebih.

Besale

Asal kata besale sampai saat ini belum diketahui, namun demikian dapat diartikan secara harafiah duduk bersama untuk bersama-sama memohon kepada Yang Kuasa agar diberikan kesehatan, ketentraman dan dihindarkan dari mara bahaya. Besale dilaksanakan pada malam hari yang dipimpin oleh seorang tokoh yang disegani yang disebut dukun. Tokoh ini harus memiliki kemampuan lebih dan mampu berkomunikasi dengan dunia ghaib/arwah.

Sesajian disediakan untuk melengkapi upacara. Pada intinya upacara besale merupakan kegiatan sakral yang bertujuan untuk mengobati anggota yang sakit atau untuk menolak bala. Pelengkap besale lainnya berupa bunyi-bunyian dan tarian yang mengiringi proses pengobatan.

Pengelolaan Sumberdaya Alam

Sebagaimana suku-suku terasing lainya di Indonesia, Orang Rimba yang selama hidupnya dan segala aktifitas dilakukan di hutan, juga memiliki budaya dan kearifan yang khas dalam mengelola sumberdaya alam. Hutan, yang bagi mereka merupakan harta yang tidak ternilai harganya, tempat mereka hidup, beranak-pinak, sumber pangan, sampai pada tempat dilakukannya adat istiadat yang berlaku bagi mereka. Begitupula dengan sungai sebagai sumber air minum dan berbagai fungsi lainnya. Perlu kita cermati disini adalah bagaimana cara mereka memperlakukan sumberdaya alam tersebut secara lestari dan berkelanjutan.

Dalam pengelolaan sumberdaya hutan, Orang Rimba mengenal wilayah peruntukan seperti adanya Tanoh Peranokon, rimba, ladang, sesap, belukor dan benuaron. Peruntukan wilayah merupakan rotasi penggunaan tanah yang berurutan dan dapat dikatakan sebagai sistem suksesi sumberdaya hutan mereka. Hutan yang disebut rimba oleh mereka, diolah sebagai ladang sebagai suplai makanan pokok (ubi kayu, padi ladang, ubi jalar), kemudian setelah ditinggalkan berubah menjadi sesap. Sesap merupakan ladang yang ditinggalkan yang masih menghasilkan sumber pangan bagi mereka. Selanjutnya setelah tidak menghasilkan sumber makanan pokok, sesap berganti menjadi belukor. Belukor meski tidak menghasilkan sumber makanan pokok, tetapi masih menyisakan tanaman buah-buahan dan berbagai tumbuhan yang bermanfaat bagi mereka seperti durian, duku, bedaro, tampui, bekil, nadai, kuduk kuya, buah sio, dekat, tayoy, buah buntor, rambutan, cempedak, petai, pohon sialong (jenis pohon kayu Kruing, Kedundung, Pulai, Kayu Kawon/Muaro Keluang), pohon setubung dan tenggeris (sebagai tempat menanam tali pusar bayi yang baru lahir), pohon benal (daunnya digunakan untuk atap rumah), kayu berisil (digunakan untuk tuba ikan) dan berbagai jenis rotan termasuk manau dan jernang.

Benuaron memiliki fungsi yang sangat besar bagi Orang Rimba, dimana selain berperan sebagai sumber makanan (buah-buahan) dan kayu bermanfaat (pohon benal, sialong, dan berisil) juga berperan sebagai tanoh peranokon. Tanah peranokon merupakan tempat yang sangat dijaga keberadaanya, tidak boleh dibuka atau dialih fungsikan untuk lahan kegiatan lain, misalnya untuk lahan perladangan atau kebun karena merupakan tempat proses persalinan ibu dalam melahirkan bayi. Tanoh peranokon yang dipilih biasanya yang relatif dekat dengan tempat permukiman atau ladang mereka serta sumber air atau sungai. Seiring berjalannya waktu, disaat seluruh tumbuhan yang terdapat di benuaron tersebut semakin besar dan tua, maka pada akhirnya benuaron tersebut kembali menjadi rimba.

Rotasi penggunaan sumberdaya hutan dari rimba menjadi ladang kemudian sesap, belukor dan benuaron, terakhir kembali menjadi rimba, merupakan warisan budaya mereka. Sehingga patut kita cermati juga bahwa Orang Rimba yang tergolong sebagai masyarakat terasing, ternyata memiliki kearifan tradisional dimana selama ini dilupakan oleh masyarakat atau pemerintah pusat.

Rumah Godong

Suku Anak Dalam tinggal di sebuah rumah godong. Luasnya sekitar 6 x 4 meter. Rumah itu biasanya didirikan kalau mereka membuka lahan, atau untuk menunggu panen. Dulu mereka hanya menanam ubi-ubian. Kini mereka sudah bisa menanam kelapa sawit.

Rumah godong itu hanya digunakan untuk menyimpan makanan atau peralatan mereka. Untuk tidur, mereka biasa merebahkan badan di atas tanah. Sebagian membuat tenda dari terpal. Untuk mandi, mereka cukup mencelupkan tubuh ke kolam atau sungai. Tentunya tanpa sabun.


Gambar Rumah Godong
VIDEO KEHIDUPAN SUKU KUBU:


VIDEO PROSESI PERNIKAHAN ORANG SUKU KUBU:

VIDEO RITUAL PENGOBATAN ADAT SUKU KUBU:

Daftar Pustaka:



http://www.google.co.id