Kata budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
pikiran, akal budi atau adat-istiadat. Secara tata bahasa, pengertian
kebudayaan diturunkan dari kata budaya yang cenderung menunjuk pada pola
pikir manusia. Kebudayaan sendiri diartikan sebagai segala hal yang
berkaitan dengan akal atau pikiran manusia, sehingga dapat menunjuk pada
pola pikir, perilaku serta karya fisik sekelompok manusia.
Sedangkan definisi kebudayaan menurut Koentjaraningrat sebagaimana
dikutip Budiono K, menegaskan bahwa, “menurut antropologi, kebudayaan
adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang
dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan
miliknya dengan belajar”. Pengertian tersebut berarti pewarisan
budaya-budaya leluhur melalui proses pendidikan.
Suku Kubu
Suku Anak Dalam atau Suku Kubu kemunculannya masih
dipertanyakan, hingga kini tak ada yang bisa memastikan asal usul mereka. Dari
lisan ke lisan, beberpa orang berpendat dan menyimpulkan kemunculan suku Kubu
tersebut.
Ada dua versi menurut sejarah lisan Orang Rimba selalu
diturunkan para leluhur. Tengganai Ngembar, pemangku adat sekaligus warga
tertua Suku Kubu yang tinggal di Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi
Pertama, mereka (leluhur) bahwa suku Kubu adalah orang
Maalau Sesat, yang meninggalkan keluarga dan lari ke hutan rimba di sekitar Air
Hitam. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Sedangkan versi kedua, penghuni
rimba adalah masyarakat Pagaruyung, Sumatera Barat, yang bermigrasi mencari
sumber-sumber penghidupan yang lebih baik. Diperkirakan karena kondisi keamanan
tidak kondusif atau pasokan pangan tidak memadai di Pagaruyung, mereka pun menetap
di hutan itu.
Dari segi bahasa suku Kubu yang banyak menggunakan bahasa
rimba dan bahasa Minang, maka versi kedua ini lebih banyak diterima dan
dikuatkan. Orang Rimba juga menganut sistem matrilineal, sama dengan budaya
Minang. Dan yang lebih mengejutkan, Orang Rimba mengenal Pucuk Undang Nang
Delapan, terdiri atas hukum empat ke atas dan empat ke bawah, yang juga dikenal
di ranah Minang.
Daerah Kubu Kandang yang lebih banyak bermigrasi ke
beberapa wilayah di Jambi bagian barat. Sejak ratusan tahun yang lalu, suku
Kubu tidak mengenal peradaban. Kehidupan mereka sangat bergantung pada alam.
Mereka hidup seminomaden, karena kebiasaannya berpindah dari
satu tempat ke tempat lainnya. Tujuannya, bisa jadi "melangun" atau
pindah ketika ada warga meninggal, menghindari musuh, dan membuka ladang baru.
Orang suku Kubu tinggal di pondok-pondok, yang disebut sesudungon, bangunan
kayu hutan, berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdang benal.
Dari hasil survei Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi
tahun 2004 menyatakan, jumlah keseluruhan mereka di Taman Nasional Bukit
Duabelas ada 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang kemudian dinyatakan
kawasan TNBD, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo,
Merangin, dan Sarolangun. Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59
kelompok kecil. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan
kehidupan desa sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan dan
menerapkan hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu.
Selain di TNBD, kelompok- kelompok suku Kubu juga tersebar
di tiga wilayah lain. Populasi terbesar terdapat di Bayung Lencir, Sumatera
Selatan, sekitar 8.000 orang. Mereka hidup pada sepanjang aliran anak-anak
sungai keempat (lebih kecil dari sungai tersier), seperti anak Sungai Bayung
Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Ada juga yang hidup di Kabupaten Sarolangun,
sepanjang anak Sungai Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir, Pelepak, dan Kembang
Bungo, jumlahnya sekitar 1.200 orang. Kelompok lainnya menempati Taman Nasional
Bukit Tigapuluh, sekitar 500 orang.
Karakteristik dan Kultur Suku Kubu
Ciri-ciri fisik dan non fisik
Suku anak dalam termasuk golongan ras mongoloid yang
termasuk dalam migrasi pertama dari manusia proto melayu. Perawakannya
rata-rata sedang, kulit sawo matang, rambut agak keriting, telapak kaki tebal,
laki-laki dan perempuan yang dewasa banyak makan sirih.
Ciri fisik lain yang menonjol adalah penampilan gigi mereka
yang tidak terawat dan berwarna kecoklatan. Hal ini terkait dengan kebiasaan
mereka yang dari kecil nyaris tidak berhenti merokok serta rambut yang terlihat
kusut karena jarang disisir dan hanya dibasahi saja.
Sedangkan dalam hal penampilan sehari hari, mereka memakai
pakaian cawat untuk laki laki yang terbuat dari kain sarung, tetapi kalau
mereka keluar lingkungan rimba ada yang sudah memakai baju biasa tetapi
bawahnya tetap pakai cawat/kancut sedangkan yang perempuan memakai kain sarung
yang dikaitkan sampai dada.
Tingkat kemampuan intelektual suku anak dalam dapat disebut
masih rendah dan temperamen mereka pada umumnya keras dan pemalu. Walaupun
masih terbatas, tetapi sudah terjadi interaksi sosial dengan masyarakat luas
sehingga keterbukaan terhadap nilai nilai budaya luar semakin tampak.
Budaya Melangun
Seorang anggota keluarga Suku Anak Dalam yang meninggal
dunia merupakan peristiwa yang sangat menyedihkan bagi seluruh warga Suku,
terutama pihak keluarganya. Kelompok mereka yang berada di sekitar rumah
kematian akan pergi karena menganggap bahwa tersebut sial, selain untuk dapat
lebih cepat melupakan kesedihan yang ada. Mereka meninggalkan tempat mereka
tersebut dalam waktu yang cukup lama, yang pada jaman dulu bisa berlangsung
antara 10 sampai 12 tahun. Namun kini karena wilayah mereka sudah semakin
sempit (Taman Nasional Buki XII) karena banyak dijarah oleh orang, maka masa
melangun menjadi semakin singkat yaitu sekitar 4 bulan sampai satu tahun.
Wilayah melangun merekapun semakin dekat, tidak sejauh dahulu.
Pada masa sekarang apabila terjadi kematian di suatu daerah,
juga tidak seluruh anggota Suku Anak Dalam tersebut yang pergi melangun. Hanya
angota keluarga-keluarga mendiang saja yang melakukannya.
Pada saat kematian terjadi, seluruh anggota keluarga Suku
Anak Dalam yang meninggal dunia merasa sedih yang mendalam, mereka menangis dan
meraung-raung selama satu minggu. Sebagian wanitanya sampai
menghempas-hempaskan badannya ke pohon besar atau tanah, ada yang berteriak dan
berkata-kata laa illa hail, ya Tuhan kami kembalikan nyawo urang kami yang
mati.
Jenazah orang yang telah meninggal kemudian ditutup dengan
kain dari mata kaki hingga menutupi kepala lalu diangkat oleh 3 orang dari
sudung/rumah menuju peristirahatannya yang terakhir di sebuah pondok yang terletak
lebih dari 4 Km ke dalam hutan.
Pondok jenazah ini jika untuk orang dewasa tingginya 12
undukan dari tanah, jika anak-anak tingginya 4 undukan dari tanah. Pondok ini
diberi alas dari batang-batang kayu bulat kecil dan diberi atap daun-daun
kering. Jenazah Suku Anak Dalam tidak dimandikan dan dikuburkan dalam tanah.
Menurut tradisi meraka, orang yang sudah meninggal masih mungkin hidup kembali,
jika mereka dikuburkan dalam tanah, maka orang yang sudah meninggal tersebut
tidak mempunyai kesempatan untuk bangkit kembali menemui kelompoknya.
Kepercayaan tersebut bermula dari peristiwa dahulu kala
dimana orang yang sudah sekarat (mungkin pingsan dalam waktu yang lama)
ditinggalkan oleh kelompoknya di sebuah pondok di dalam hutan, dan kemudian
ternyata ada di antara mereka yang dapat hidup dan sehat kembali serta pulang
ke kelompoknya. Kejadian ini yang mengilhami meraka untuk tidak menguburkan
jenazah orang yang sudah meninggal.
Anggota kelompok sesekali masih menengok pondok dimana
jenazah tersebut diletakan, mereke menengok dari jarak jauh untuk memastikan
keadaan jenazah. Dalam hal ini yang menjadi tabu buat mereka, yaitu pelarangan
menyebut rekan/keluarganya yang sudah meninggal dunia karena hal ini akan
membuat mereka merasa kembali kepada kesedihan yang mendalam. Mereka mengatakan
janganlah kawan sebut-sebut lagi orang yang sudah mati.
Seloko Dan Mantera
Kehidupan Suku Anak Dalam sangat dipengaruhi oleh
aturan-aturan hukum yang sudah diterapkan dalam bentuk seloko-seloko yang
secara tegas dijadikan pedoman hukum oleh para pemimpin Suku, khususnya
Tumenggung dalam membuat suatu keputusan. Seloko juga menjadi pedoman dalam
bertutur kata dan bertingkah laku serta dalam kehidupan bermasyarakat Suku Anak
Dalam. Bentuk seloko itu antara lain:
1.Bak emas dengan suasa
2.Bak tali berpintal tigo
3.Yang tersurat dan tersirat
4.Mengaji di atas surat
5.Banyak daun tempat berteduh
6.Meratap di atas bangkai
7.Dak teubah anjing makan tai (kebiasaan yang sulit di ubah
)
8.Dimano biawak terjun disitu anjing tetulung (dimano kita
berbuat salah disitu adat yang dipakai )
9.Dimano bumi di pijak disitu langit di junjung (dimana kita
berada, disitu adat yang kita junjung, kita menyesuaikan diri)
10.Bini sekato laki dan anak sekato Bapak (bahwa dalam
urusan keluarga sangat menonjol peran seorang laki – laki atau Bapak )
11.Titian galling tenggung negeri (Tidak ke sini juga tidak
kesana/labil)
Seloko-seloko adat ini menurut mereka tidak hilang dan tidak
bias (berubah). Seloko-seloko adat dan cerita asal usul mereka adalah cerita
Tumenggung Kecik Pagar Alam Ngunci Lidah yang usianya pada saat laporan ini
dibuat sekitar 80 tahun lebih.
Besale
Asal kata besale sampai saat ini belum diketahui, namun
demikian dapat diartikan secara harafiah duduk bersama untuk bersama-sama
memohon kepada Yang Kuasa agar diberikan kesehatan, ketentraman dan dihindarkan
dari mara bahaya. Besale dilaksanakan pada malam hari yang dipimpin oleh
seorang tokoh yang disegani yang disebut dukun. Tokoh ini harus memiliki
kemampuan lebih dan mampu berkomunikasi dengan dunia ghaib/arwah.
Sesajian disediakan untuk melengkapi upacara. Pada intinya
upacara besale merupakan kegiatan sakral yang bertujuan untuk mengobati anggota
yang sakit atau untuk menolak bala. Pelengkap besale lainnya berupa
bunyi-bunyian dan tarian yang mengiringi proses pengobatan.
Pengelolaan Sumberdaya Alam
Sebagaimana suku-suku terasing lainya di Indonesia, Orang
Rimba yang selama hidupnya dan segala aktifitas dilakukan di hutan, juga
memiliki budaya dan kearifan yang khas dalam mengelola sumberdaya alam. Hutan,
yang bagi mereka merupakan harta yang tidak ternilai harganya, tempat mereka
hidup, beranak-pinak, sumber pangan, sampai pada tempat dilakukannya adat
istiadat yang berlaku bagi mereka. Begitupula dengan sungai sebagai sumber air
minum dan berbagai fungsi lainnya. Perlu kita cermati disini adalah bagaimana
cara mereka memperlakukan sumberdaya alam tersebut secara lestari dan
berkelanjutan.
Dalam pengelolaan sumberdaya hutan, Orang Rimba mengenal
wilayah peruntukan seperti adanya Tanoh Peranokon, rimba, ladang, sesap,
belukor dan benuaron. Peruntukan wilayah merupakan rotasi penggunaan tanah yang
berurutan dan dapat dikatakan sebagai sistem suksesi sumberdaya hutan mereka.
Hutan yang disebut rimba oleh mereka, diolah sebagai ladang sebagai suplai
makanan pokok (ubi kayu, padi ladang, ubi jalar), kemudian setelah ditinggalkan
berubah menjadi sesap. Sesap merupakan ladang yang ditinggalkan yang masih
menghasilkan sumber pangan bagi mereka. Selanjutnya setelah tidak menghasilkan
sumber makanan pokok, sesap berganti menjadi belukor. Belukor meski tidak
menghasilkan sumber makanan pokok, tetapi masih menyisakan tanaman buah-buahan
dan berbagai tumbuhan yang bermanfaat bagi mereka seperti durian, duku, bedaro,
tampui, bekil, nadai, kuduk kuya, buah sio, dekat, tayoy, buah buntor,
rambutan, cempedak, petai, pohon sialong (jenis pohon kayu Kruing, Kedundung, Pulai,
Kayu Kawon/Muaro Keluang), pohon setubung dan tenggeris (sebagai tempat menanam
tali pusar bayi yang baru lahir), pohon benal (daunnya digunakan untuk atap
rumah), kayu berisil (digunakan untuk tuba ikan) dan berbagai jenis rotan
termasuk manau dan jernang.
Benuaron memiliki fungsi yang sangat besar bagi Orang Rimba,
dimana selain berperan sebagai sumber makanan (buah-buahan) dan kayu bermanfaat
(pohon benal, sialong, dan berisil) juga berperan sebagai tanoh peranokon.
Tanah peranokon merupakan tempat yang sangat dijaga keberadaanya, tidak boleh
dibuka atau dialih fungsikan untuk lahan kegiatan lain, misalnya untuk lahan
perladangan atau kebun karena merupakan tempat proses persalinan ibu dalam
melahirkan bayi. Tanoh peranokon yang dipilih biasanya yang relatif dekat
dengan tempat permukiman atau ladang mereka serta sumber air atau sungai.
Seiring berjalannya waktu, disaat seluruh tumbuhan yang terdapat di benuaron
tersebut semakin besar dan tua, maka pada akhirnya benuaron tersebut kembali
menjadi rimba.
Rotasi penggunaan sumberdaya hutan dari rimba menjadi ladang
kemudian sesap, belukor dan benuaron, terakhir kembali menjadi rimba, merupakan
warisan budaya mereka. Sehingga patut kita cermati juga bahwa Orang Rimba yang
tergolong sebagai masyarakat terasing, ternyata memiliki kearifan tradisional
dimana selama ini dilupakan oleh masyarakat atau pemerintah pusat.
Rumah Godong
Suku Anak Dalam tinggal di sebuah rumah godong. Luasnya
sekitar 6 x 4 meter. Rumah itu biasanya didirikan kalau mereka membuka lahan,
atau untuk menunggu panen. Dulu mereka hanya menanam ubi-ubian. Kini mereka
sudah bisa menanam kelapa sawit.
Rumah godong itu hanya digunakan untuk menyimpan makanan
atau peralatan mereka. Untuk tidur, mereka biasa merebahkan badan di atas
tanah. Sebagian membuat tenda dari terpal. Untuk mandi, mereka cukup
mencelupkan tubuh ke kolam atau sungai. Tentunya tanpa sabun.
Gambar Rumah Godong |
VIDEO KEHIDUPAN SUKU KUBU:
VIDEO PROSESI PERNIKAHAN ORANG SUKU KUBU:
VIDEO RITUAL PENGOBATAN ADAT SUKU KUBU:
Daftar Pustaka:
No comments:
Post a Comment